Senin, 14 Desember 2020

Saat Anggota Keluarga (+) COVID-19, Ngurusnya Mulai dari Mana? (part 1)


Kami tak ingin ujian keluarga yang dialami tak sekadar jadi cerita yang berlalu, semoga juga bisa jadi pembelajaran untuk siapa pun yang ingin membuka hati dan pikirannya bahwa #coronamasihada.



Ketika aku tulis artikel ini (14 Desember 2020), Papa dan Mama sudah dinyatakan negatif dari hasil test PCR SWAB. Mama tanggal 1 Oktober 2020, dan Papa 21 Oktober 2020. Mama lebih cepat negatif karena penyakit penyerta beliau “hanya” darah tinggi. Itupun kambuh hanya di awal dia dinyatakan positif, mungkin karena kaget aja, yah. Selebihnya selama masa perawatan kondisi Mama relatif stabil. Lalu Papa memakan waktu nyaris 40 hari dirawat di dua RS yang berbeda, karena termasuk pasien comorbid, dengan penyakit jantung (sudah di-ring 2). 

Aselik sih, September 2020! kamu bakalan jadi bulan terdahsyat dalam hidup aku dan keluarga. Karena kami “terpilih” diuji dengan positifnya Papa dan Mama terinfeksi virus corona.


Lalu apa aja tahapan-tahapan yang kami lakukan, ketika tahu Papa Mama dan semua keluarga termasuk dalam lingkaran tracing? Berikut kami ceritakan sesuai time line yang keluarga kami alami, ya, teman-teman. Sekaligus apa yang kami lakukan hingga orangtua kami, bisa aman dan nyaman dirawat di RS rujukan COVID-19. Supaya teman-teman juga ada bayangan kronologisnya. 


Awal perjuangan

Image: Freepik.com

10 September 2020 (19:44): Kami mendapat kabar bahwa Om kami yang berdomisili di Petamburan (+) Covid. Karena Mama, aku dan kakak sempat ke sana - terlebih Mama nginap kurleb seminggu, pastilah kami kena tracing plus kontak erat dengan pasien tersebut.


Di malam yang sama aku langsung cari RS terdekat untuk melakukan PCR SWAB mandiri. Saat itu pilihan jatuh ke RS Premier Bintaro. Berhasil mendapat slot pagi untuk test, di keesokan harinya.


Kloter pertama yang ditest: Papa, Mama, aku dan Jordy. Kalau sudah kena tracing, teman-teman tolong diingat ya, PCR SWAB adalah metode paling valid. Nggak usah mikir jenis test yang lain. NYAWA adalah taruhannya!


Selain itu: WAJIB EKSTRA GERCEP, jangan nunggu nanti2 untuk PCR SWAB. 


11 September 2020 (09:18): Tiba di RS Premier Bintaro untuk test PCR SWAB. Dari rumah sudah pakai masker medis, dan nggak kontak fisik sama Papa Mama, di sini aku udah punya feeling, mereka (+), karena dari kondisi fisik (mata sayu, Papa juga ngeluh pusing beberapa hari sebelumnya, Mama ada batuk ringan). Aku dan Jordy di mobil terpisah dengan Papa & Mama. Jam 11:23, udah sampai rumah lagi.


Nunggu hasil 24 jam saat itu, adalah waktu nunggu terdeg-degan dalam sejarah aku. Tapi juga sudah menyiapkan mental, apapun yang terjadi, harus diterima dengan legowo. 


12 September 2020 (kurleb 11:30): Pihak RS Premier Bintaro telepon, bacain hasil test Mama & Papa yang (+). Darah langsung turun rasanya, kaki lemes seperti nggak menapak, badan lemes seada-adanya. Setengah jam pertama masih berusaha mencerna yang kami alami. Telepon sahabat-sahabat terdekat untuk ngabarin yang terjadi. Sambil minta penguatan dari mereka. Dan ya, aku cuma bisa nangis di setengah jam pertama itu. FYI: hasil aku dan Jordy (-)


Tahapan yang harus dilakukan sebagai keluarga yang mengurus pasien Covid:


Image: Freepik.com


  1. Buat group What’s App Satgas Covid keluarga


Hal ini untuk memudahkan kordinasi. "Satgas Covid keluarga Tabrani" terdari dari aku, Kakak Tanti (kakak kandung aku) dan Kakak Mila (kakak ipar aku). Masing-masing ditampuk tanggung jawab. Supaya nggak banyak pintu kordinasi dengan Satgas Covid setempat & pihak-pihak lainnya. Pembagian tugas yang waktu itu kami buat:


Thatha: 

-Kordinasi dengan Satgas Covid setempat, untuk input data-data Papa Mama dan mendatangkan petugas Puskesmas untuk screening awal alat-alat vital pasien.

-Kordinasi dengan Puskesmas, ini sifatnya update data aja. Karena yang terjadi di aku, pihak Puskesmas juga telepon, menawarkan test PCR SWAB untuk sisa keluarga yang belum test. 


Kakak Tanti:

-Kordinasi dengan RT, harus transparan dengan situasi yang sedang kelurga kami alami. 

-Fokus urus kebutuhan Papa Mama pas masih di rumah.

-Menerima kedatangan pihak petugas kesehatan dari RS. Karena walau aku dan kakak tinggal dalam satu wilayah, tapi kami berbeda atap rumah.

-Kordinasi dengan suster dan RS pas Papa Mama dirawat


Kakak Mila:

-Kordinasi dengan puluhan RS mengecek ketersediaan kamar. Ini sebetulnya juga udah dilakukan oleh pihak Satgas Covid Kec Pamulang, tapi akan sangat membantu kalau ada usaha juga dari pihak keluarga. Karena: SAAT MENCARI KAMAR, ARTINYA KITA SEDANG “BERSAING” DENGAN PULUHAN, RATUSAN BAHKAN RIBUAN PASIEN LAINNYA YANG MENGUSAHAKAN HAL YANG SAMA. 

-Nego dengan RS, jika ada harga obat yang nggak ditanggung Kemenkes atau BPJS ke pihak farmasi RS terkait. Karena Kak Mila punya pengalaman kerja bertahun-tahun di RS bagian pengadaan obat.


  1. Telepon ke 119 (Satgas Covid Nasional)


Nanti dari sini data pasien diinput dulu. Nggak lama, akan ada Satgas Covid yang follow up kita, sesuai dengan domisili. Jadi yang waktu itu FU aku adalah Satgas Covid Pamulang (karena aku masuk Kecamatan Pamulang).


  1. Wajib fast respond dengan pihak Satgas 


Kenapa mesti cepet responnya? main cepet kita kasih data, makin cepat pula pihak satgas beralih ke proses selanjutnya. Dan ujung-ujungnya, pasien bakalan cepat ditempatkan RS rujukan. Data-data atau informasi pasien yang diminta adalah:


-Hasil PCR SWAB dari RS

-Kartu Indonesia Sehat/jaminan BPJS

-Soft copy Kartu Keluarga

-Soft copy KTP

-Adakah keluhan yang terjadi pada pasien saat itu?

-Suhu terakhir pasien?

-Adakah riwayat pasien ke luar negeri atau luar kota dalam 14 hari terakhir?

-Adakah riwayat kontak dengan pasien terkonfirmasi (+) dalam 14 hari terakhir?


4. Segera lapor RT dan kabarin orang-orang yang pernah kontak sama pasien Covid dalam 14 hari terakhir.


COVID BUKAN AIB! Malahan kalau kita jujur dan transparan sama lingkungan sekitar, makin besar kemungkinan memutus penularan virusnya. Yang lagi berjuang satu Indonesia dan dunia kok.


5. Jaga kesehatan jiwa raga


Meskiii sulit (terutama soal porsi tidur di seminggu sampai dua minggu pertama), pantas diusahakan sih. Soalnya kalau Satgas Covid keluarga "tumbang" satu persatu, siapa yang mau urus Papa Mama? Makanya walau nggak kerasa lapar, pas udah jam makan, harus makan. Dan didoping sama multivitamin, sayur-sayuran dan buah-buahan. Berjemur juga wajib yaaa, disempet-sempetin.


Dan yang terjadi sama aku, mesti ada skala prioritas. Soal sekolah anak, aku liburin dulu. Kerjaan juga gitu. Jujur sama partner kerja, kalau masih butuh cuti, atau pas udah bisa WFH, belum bisa fast respond. Gunanya supaya kita yang ngurus pasien dari jauh, tetap "waras" - We Are Humans, Not Machines!.


Papa dan Mama dibawa ke RS Bunda Menteng


12 September 2020 (16:39): Petugas kesehatan Puskesmas sesuai domisili kami datang untuk ngecek keadaan organ-organ vital pasien (kadar oksigen, tekanan darah, dll).


12 September 2020 (21:58): Karena kedua pasien kategorinya lansia, dan termasuk comorbid - idealnya mereka memang harus mendapat perawatan di RS. Alhamdulillah dapat kamar di RS Bunda Menteng atas link dari kakak iparku, sudah diusahakan dapat bisa sekamar supaya bisa saling ngasih semangat, tapi karena saking full-nya, terpaksa harus pisah kamar. 


Jam 21:58: ambulance tiba di rumah kami. Dan dilakukan serah terima pasien, dari keluarga ke petugas kesehatan. Di sini harus ada surat pernyataan dengan materai 6 ribu. Selain itu, surat dari RS terkait yang akan menerima pasien, yang menyatakan bahwa dua pasien tersebut memang udah dapat kamar di sana. Supaya pertugas puskemas nggak di-pingpong pas udah sampai RS. Hampir 22.30, Papa Mama masuk ambulance dan berangkat ke RS Bunda Menteng. 





Dari kiri: foto 1 & 2, Kakak Tanti pakai APD. Foto 3: Serah terima pasien ke petugas puskesmas yang bawa Papa Mama ke RS.


Di momen melepas mereka ini, kami seperti melepas mereka ke medan perang. Perang ngelawan penyebaran virus corona. Perasaan campur aduk, yang mendominasi pastinya: sedih. Tapi juga ada leganya, karena sudah ada di tangan yang tepat, yaitu tenaga medis.


Aku nggak bisa nganter ke ambulance. Jadinya hanya kakak yang berinteraksi dengan petugas kesehatan. Untung di rumah ada APD punya suami, yang dikasih dari kantornya - jaga-jaga kalau harus liputan ke rumah sakit. Atau tempat-tempat lainnya yang rawan penyebaran Corona.


Aku hanya dikirim video-nya sama kakak, detik-detik mereka keluar dari rumah dan masuk ke ambulance. Dalam hati aku berdoa dan bergumam: “Semangat Papa Mama, kalian pasti bisa melawan virus corona - kumpul lagi sama kami!”


Sebelum Papa Mama dijemput ambulance aku pribadi belum bisa tenang ngapa-ngapain. Secara teknis, dari RS nelepon ngabarin mereka (+) aku se-intens itu duduk mengoperasikan laptop dan telepon, kordinasi dengan banyak pihak, totalnya nyaris 6 jam. Udah nggak ada respon lapar, makan karena kerasa pusing, aliran darah nggak lancar ke otak (duduk melulu). Untung masih kerasa haus. Mulai dari 12 September itu, sampai dua minggu berikutnya, kami yang urus Papa Mama belum bisa tidur normal. Porsi tidur aku sendiri max 3-4 jam dalam sehari. Kombinasi antara masih kordinasi sama dua kakak aku, kebangun karena ada kabar dari RS dan muncul anxiety.


Aku dan Jordy nyempetin VC-an sebelum ambulance jemput mereka

Keadaan Papa menurun


13 September 2020 (17.00): suster ngabarin kalau Papa tingkat infeksinya meningkat (CRP: 75,2), butuh obat ACTEMRA, 1 vial 400 gram. 


*CRP: tes darah yang mengukur jumlah protein (yang disebut protein C-reaktif) dalam darah. Protein C-reaktif  mengukur keseluruhan kadar peradangan dalam tubuh.


Perjuangan nyari obat ini: LUAR BIASA SULIT. Aku sangat dibantu dengan teman-teman dengan followers IG ribuan, belasan hingga puluhan ribu (you know who you are!). Aku japri ke mereka minta bantuan sebar di IGS masing-masing, karena bener-bener nggak tahu, mau mencari ke mana. Dalam hal ini, yang aku sangat rasakan impact positif social media. 


Hanya hitungan 1-2 jam aja, WA dan DM silih berganti berdatangan. Semacam merangkai puzzle, mencari tahu keberadaan obat ini - di mana bisa dibeli. Singkat cerita obat ini belum bisa kami dapatkan sampai tanggal 18. Sementara itu dokter nanganin dengan obat yang lain, dengan fungsi yang sama = menekan laju peradangan di tubuh Papa. 


FYI, pada saat nyari ACTEMRA, kami tahu harganya muahal, nyaris 17 juta. Yang kami pikirkan saat itu, yang penting dapat dulu aja deh tu obat. Soal bayar, kami bertiga insya Allah bisa kalau patungan. Tapiii ternyata, udah rezeki Papa dan Mama, ada pihak yang bersedia membelikan obat tesebut! Sungguh! Di masa sulit, Allah SWT tuh ADIL BANGET! Bentuk pertolongannya Masya Allah sangat terasa dekat dan nyata.


14 September: 8 anggota keluarga kami yang lain PCR SWAB mandiri di RS Premier Bintaro, sebetulnya ditawarin sama Puskesmas, dan gratis. Tapiii hasilnya: 14 hari banget, ya, Allah. Kami nggak sanggup nunggu selama itu, dengan risiko tinggi ada sisa 4 anak lainnya yang juga ikut kena tracing. Jadinya ya udah deh, aku dan kakak Tanti jebol dana darurat. Dan 8 anggota keluarga tersebut hasilnya: (-) Negatif, Alhamdulillah. 


19 September 2020: long story short, CRP Papa kembali naik (di angka 50-an). Dengan segala bantuan networking dari inner circle aku (kantor aku terdahulu Female Daily Networking (Female Daily & Mommies Daily), kantor aku waktu itu masih kerja Mama’s Choice dan seluruh sahabat-sahabat dan jaringan teman, kerabat aku, Kakak Tanti & Kakak Mila. Akhirnya, ACTEMRA, 1 vial 400 gram berhasil kami dapatkan dan beli. 


Khusus di tahap ini, keluarga aku mau mengucapkan TERIMA KASIH yang paling tulus untuk seseorang yang bersedia menjadi donatur membelikan ACTEMRA untuk Papa. Jiwa kamu sungguh mulia! Kalau Corona sudah selesai, izinkan aku untuk peluk kamu, yah. 


Nulis bagian terima kasih ini, walau kejadian sudah berlalu lebih tiga bulan, air mata aku tetep ngalir. Keinget rumus yang kami jalankan sebagai Satgas Covid keluarga Tabrani, berbuah hasil positif: BERDAMAI DENGAN KEADAAN - SABAR - IKHLAS - BERDOA - BERUSAHA SEMAKSIMAL MUNGKIN - BERSYUKUR- PASRAH - JEDA.


Segala kemudahan yang Dia beri ke keluarga kami mengusahakan kesembuhan untuk Papa dan Mama tak lepas dari poin berdoa tak kenal lelah yang datang dari segala penjuru, tangan Allah SWT bener-bener bekerja secara misterius ketika itu. 


Beneran deh, energi doa dari semua pihak saat itu, secara magis seperti nyampe ke kami di rumah, dan secara nyata hadir dalam bentuk kelancaran/kemudahan di beberapa momen yang kami tempuh. Jadi untuk temant-teman yang mendapati ada seseorang yang kalian kenal atau nggak dan sedang tertimpa musibah berupa (+) Covid atau ujiannya lainnya, yuk, yuk bantu dengan doa dari rumah. Sejauh apapun jarak pendoa dengan yang didoakan, harapan kalian insya Allah diijabah Allah SWT, dan disampaikan langsung kepada yang sedang membutuhkan pertolongan.


Ini hanya segelintir dari paket-paket pembangkit semangat yang keluarga kami terima. Kadang karena masih sibuk sama tektokan di group WA Satgas Covid keluarga, jadi lupa foto. Tapi tenang kebaikan kalian akan terus terpatri di hati keluarga kami.


Selain bantuan obat Actemra, pada perjalanan perjuangan di dua minggu pertama kami sekeluarga, bantuan berupa suntikan kalimat-kalimat penyemangat, asupan makanan, camilan, multivitamin dan bentuk bantuan lainnya - juga tak hentinya kami dapatkan. Baik itu untuk Papa dan Mama di RS, dan kami yang kala itu masih harus isolman 14 hari di rumah. Untuk kalian yang berhati mulia & tak dapat aku sebutkan satu persatu memberikan semua itu, TERIMA KASIH, TERIMA KASIH & TERIMA KASIH 🤗🤗🤗


-


Cerita bersambung ke part 2, ya, teman-teman. Momen di mana Papa dan Mama dinyatakan boleh pulang untuk menjalankan isolasi mandiri di hotel. Tapi, di masa isolman itu, Papa ngalamin serangan jantung. Bagaimana episode perjuangan Papa dan kami selanjutnya? 


Rabu, 10 Mei 2017

Suara Hati Bundanya Jordy...

Meski gue dan (seisi rumah) berbeda pandangan politik, bahkan dgn Pak Suami. Tapi kami tetap keluarga yg disatukan aliran darah. 

Debat & diskusi? Makanan gue sehari2 dgn suami. Tapi atas nama cinta, kami tetap saling menerima. Sehari2 gue sering pakai kaos yg bergambar Ahok (hasil pemberian kalau Reno abis dapat penugasan liputan yg berbau Ahok). Suamipun bersoloroh ke bokap gue "Kubunya Ahok tuh, Pah, Nita!". Bokap cuma ketawa2, dan gue? Mangkinan ngeliatin wajah Ahok di kaos yg lg gue pakai😜.Bokap? Ya cuma senyum aja. 


Kalau diskusi lg memanas, gue cenderung diam. Karena di balik perbedaan pandangan gue dgn org rumah, mereka ada "Kehidupan gue, nyawa kedua gue". Dan iklim ademnya rumah ini, yg pingin gue gambarkan & kedepankan ke Jordy. Contoh, kelak dia ada di tengah perbedaan yang sengit, tetap mengedepankan hati & rasionalitas. 

Gue dan Reno nggak punya gunung mas, atau pohon duit utk diwariskan ke Jordy nanti. Ilmu, akhlak yg baik dan nilai2 toleransi antar manusia yg kelak akan Jordy dapat. Bergaul dengan siapa saja, tanpa memandang warna kulit, agama, dan suku.

Gue memang bukan warga Jakarta. Tapi gue kelahiran asli Jakarta. Gue Betawi! Rasanya kok hati tercabik2, sedih, tau pemimpin semacam Ahok yg kerja benar & tuntas didera kayak gini. Iya, iya...gue juga paham gak ada manusia tanpa cela, begitupun Ahok. Tapi apa lantas, kalian yang berseberangan pendapat dgn gue dan jutaan manusia lainnya, jadi pembenaran diberikan label penista agama dan layak disebut kafir? 

Silakan mengajukan ketidaksetujuan, tapi tolong jangan jadi ajang mencaci maki. Silakan tumpahkan kekesalan, tapi tolong, hindari berperan (seakan2) menjadi Tuhan.

Silakan mengajukan pendapat ttg apa yg baik buat negeri ini, tanpa mengenyampingkan, rakyat Indonesia itu beragam! Agama, suku, adat istiadat, bahasa, kearifan lokal dan lain-lain. 

Silakan kritik orang, tapi terlebih dahulu berkaca. Kita sendiri udh melakukan apa buat Indonesia, yg sesuai dgn kapasitas diri? Agak heran, ketika gue mendapati, org yg ingin menjaga solidnya NKRI dgn cara yg dia kuasai, tapi dihujat, krn YBS memberikan testimoni positif tentang era Pemerintahan Ahok. Segitu sempitnya pemikiran Anda? Kenal juga nggak sama YBS, atau udah merasa punya prestasi sekelas internasional sama spt org yang Anda hujat? 


Logika gue mampet, ketika mendengar seseorg habis2an menghujat etnis Cina, yang bla, bla, bla & la, la, la. Di depan gue, yang notabene ada garis keturunan Cina Surabaya. Kedengkian bertambah parah, saat diucapkan dari lidah seorang ibu & depan anaknya sendiri. Hmmm, semoga si anak bertumbuh tanpa kebencian yg sama. 

Jika negeri ini dibangun susah payah oleh pendahulu kita yg bertitel Pahlawan, lalu sekarang dgn mudahnya tercerai berai, krn "perang" perbedaan pandangan? Oh come on, negara lain udh bisa kirim orang ke bulan, sibuk inovasi ini itu utk kebaikan rakyatnya. Kita masih ribut agama & politik.

Teruntuk Jordy, Bunda & Ayah nggak bisa mendampingi kamu dgn abadi. Tolong jadi anak yang kuat iman dan hati, ya, Nak. Jangan tersulut emosi, jika di sisi lain ada tak sepaham dgn pendapat kamu. Jadilah manusia yang mengedepankan kasih sayang. Jika kamu merasa teraniaya, tempuh dgn cara cerdas & tegas untuk melawan, bukan dengan kata2 kotor dan sumpah serapah. Simpan energi kamu, buat sesuatu yang lebih bermakna.


Jordy, tumbuhlah jadi anak yang bersahaja, namun penuh cinta.

Selasa, 11 Oktober 2016

Gw Belum Cukup Tangguh untuk Bersyukur

Me and my beloved son: Jordy
Seperti biasa, pagi gw dimulai dengan meraba sosok mungil di samping gw. Kulit halusnya dan sedikit aroma khas anak toddler ketika bangun pagi membuat gw tersadar berulang kali – gw adalah seorang ibu! Tepatnya 3 July 2014 lalu, gw melahirkan Jordy anak pertama gw – walau proses kelahiran Jordy tergolong penuh perjuangan. Itulah the truly momen, gw harus terus bersyukur diberikan kepercayaan oleh Allah SWT merawat, membesarkannya dengan kaidah agama yang gw anut dan segala normal sosial yang berlaku. Jordy...., kamu adalah nyawa kedua Bunda dan Ayah.


Setelah selesai drama pagi dengan Jordy, hahaha (eboooo-eboooo mana suaranyaaa?), gw bersiap pergi ke kantor, biasanya dibonceng motor sama Reno. Dalam perjalanan selama kurang lebih 1 jam itu, gw melihat banyak banget “pemandangan” yang menyadarkan gw, kalau gw belum cukup tangguh untuk bersyukur. Bayangin aja, pas bangun pagi, gw bisa melihat Jordy dan bangun ke arahnya tanpa susah payah aja, itu udah anugerah yang luar biasa. Coba deh, di belahan dunia lainnya, pasti ada seseorang yang badannya lemas lunglai karena suatu penyakit, atau para korban perang yang mau keluar rumah aja nggak bisa.
One fine day, saat gw sempat berkunjung ke Oman negara Middle East, matahari sore atau pagi seperti ini semacam alarm buat gw untuk selalu bersyukur.
“Pemandangan” yang tadi gw sempat bilang, di antaranya, bapak-bapak paruh baya yang masih semangat berdagang. Entah itu peralatan rumah tangga, sayur-sayuran, buah dan yang paling sukses bikin gw berkaca-kaca, bapak tua yang jualan abu gosok+bola warna warni (tau kaaan? Itu bola khas banget). Katakanlah gw mellow, katakanlah gw cengeng, katakanlah gw terlalu sensitif...tapi ini nyata, mereka yang udah paruh baya aja masih gigih, kok gw yang seperempat usia bapak penjual abu gosok tadi sering ngeluh ke suami kalau nggak bareng sama dia pulangnya “Jalanan macet banget tadi deh”. Menurut lo tha? Lo hidup di mana? Belitung? Yang 10 menit sekali baru liat kendaraan lalu lalang *nanti gw tulis dalam post yang berbeda, ya!

Itu baru dari sudut pandang ketika gw jalan ke kantor. Lain cerita dengan lingkungan dimana gw tinggal. Karena daerah rumah gw bisa dibilang adalah perkampungannya (red: di luar kompleks perumahan gituuu, guys.). Jadi kalau kalian berkunjung ke rumah gw, akan mendapati banyaaak banget rumah petakan alias kontrakan kecil. Dengan keadaan kontrakan yang seadanya, bisa ditebak bagaimana keadaan ekonomi mereka. Sebut saja Ibu Eni, waktu hamil tua anak kedua, dia datang ke tetangga gw yang juga seorang penjahit. Dia datang sambil bawa beberapa pakaian bayi yang sudah lusuh dan robek sana sini. Ibu Eni, minta tolong dijahitkan bagian yang bolong-bolong itu, supaya bisa menjelma menjadi baju layak pakai. Huufftthh, dengar ceritanya aja dari Nyokap gw menghela napas panjaaang, apalagi gw ada di situ, yaaa T_T.

Masih dengan objek cerita yang sama, suatu hari Jordy dan pengasuh gw lagi main dekat rumah Ibu Eni. Dan terjadilah percakapan ini:

Ibu Eni: Jordy udah bisa apa?

Pengasuh Jordy: Macam-macam Bu, jalan, ngomong, dan lain-lain

Suami Ibu Eni: Aaah anak saya mah boro-boro, wong makannya aja cuma sama sayur aja. Nggak mampu beli daging ayam dan daging lainnya.

Pas pengasuh Jordy cerita momen ini ke gw, honestly gw merasa seperti tertampar. Duuuh, gw kan kerja di media online parenting ya. Tapi kok  belum bisa berbuat apa-apa buat mereka yang pengetahuan tentang nutrisi itu, bukan sebatas daging-dagingan atau harus makan ikan. Tahu, tempe, oncom itu nilai proteinnya sama, lho, kayak daging sapi, Pak dan Ibu Eni. Ini jadi catatan tersendiri sih buat gw, sambil masih cari cara yang nggak terkesan menggurui buat ngobrol sama Ibu Eni, perihal asupan nutrisi buat anak ituuu nggak harus mahal. Dan gara-gara ini gw sempat terpikir bikin posyandu di rumah gw, ada yang tahu nggak caranya gimana? Maksudnya gw juga kerja sama dengan pihak terkait gitu.
Image: www.thekdpost.wordpress.com
Ibu Eni, Bapak penjual abu gosok, halusnya kulit Jordy dan nikmatnya matahari pagi, menyadarkan gw kalau hidup itu, yaaa, layak diperjuangankan. Ngeluh? Emang mau jadi pecundang? Alias kalah sebelum berjuang?



Rabu, 29 Oktober 2014

Times Goes Like an Arrow...

Kalau tulisan yang ini naga-naganya gw lagi galau yaaa, ahaahahhaa. Kelamaan kuliah sampe-sampe kena tegur bokap. Padahal penyebabnya gw "agak" telat lulus adalah bekerja sambil kuliah. Yaaa kira-kira begitu deh yaaaa (naaah kan curcol). Yuuuk ah mangga ditampi saudara-saudara....

Times goes like an arrow….

April 16, 2009 at 3:39

“Times goes like an arrow”; sepenggal kalimat yg rasanya pantas utk dicermati secara khusyuk. Pasalnya selusin peristiwa bahkan berkali lipat dari itu, dgn sukses gw lewati dan bahkan sesekali terlewati di hadapan gw. Berbagai rona kisah yang membingkai perspektif gw tentang hidup dan bagaimana menyikapinya. Fenomena dari tingkah laku manusia yang dapat membuat matahari terus bersinar dan bulan yang masih setia dengan malamnya, masih dan akan terus mengagumi suasana sore hari yg absolut romantis, sama seperti tumbuh dan berkembang seorang insan yang memang normal adanya. Sesekali gw patut berdecak kagum ketika melihat pertumbuhan pesat jagoan kecil sahabat gw; Gata Sambarawili Barata. Dua kecil gigi mungilnya menunjukkan bahwa ia tumbuh sehat di bawah asuhan mama papa tercinta ;) gak kerasa pula Gata menginjak usia satu tahun….. yipieeeeee yauuuu aw…aw…aw… (yes he did it on 22nd March 2009)

Oh GOD…, did I missed something…? Cepat sekali waktu bergulir, secepat Kau mengabulkan setiap inci doa dari seluruh manusia di muka bumi, secepat Kau memberikan petunjuk di tengah kegalauan hati, secepat Kau menggantikan air mata yg jatuh dengan senyuman bahagia, bahkan ketika seseorang rapuh Kau juga bergegas menenggelamkannya dalam suka dan gelak tawa dari lingkaran pertemanan yang ia punya. Berharap dlm mimpi indah semoga terus ada kisah2 yg memperkaya referensi gw ttg kehidupan.

* I wrote this note bot 2 month a go...., br ketemu & tergelitik utk mempostingnya ^_^

Cukup Siti Nurbaya???

Kost-kostan tak ubahnya tempat kontemplasi buat gw kala tulisan ini digarap. Pulang kuliah atau main rasanya teduh banget bisa gogoleran di kamar yang kadang rapiiiih jali dan gak jarang juga seperti kapal pecah. Seperti sekelumit kisah gw dibawah ini, didapati saat gw santai sore di halaman kostn. Check this out....

Cukup Siti Nurbaya???

June 7, 2009 at 2:26pm

Adalah Nia (bukan nama asli) perempuan lugu asal kota kecil di daerah Garut; teman baru saya yang sangat hangat dan menyenangkan. Kesehariannya tak lepas dari wajah ceria, pembawaannya yang riang dan selalu tersenyum jika berpapasan dengan saya. Pertemuan kami terjadi karena Nia bekerja di sebuah keluarga yg notabene keluarga ini adalah pemilik kost-kostn tempat saya berteduh. Aktivitas sehari-hari yang diljalankannya tak lepas dari senandung kecil yang terdengar sayup dari balik kamar kostn saya, mewakili perasaan ikhlas, senang dan tak ada beban ketika melakukan setumpuk pekerjaan rumah tangga yang diamanatkan si empu rumah.

Suatu sore, tak sepeti biasanya udara Bandung panas…! Padahal sore sudah beranjak temaram. Tanpa ragu saya beranjak keluar; bosan dengan suasana kamar, penat setelah seharian berada di luar berjibaku dengan beberapa keperluan dihari itu. Pandangan saya tertuju kepada Nia, yang tengah duduk santai selepas membersihkan halaman, saya duduk tepat disamping Nia.

Seakan sudah lama Nia memendam secuil kisah hidupnya, secara spontan dan tanpa saya duga ia langsung berceloteh tentang rencana pernikahannya. “aku nggak akan lama lagi kerja disini kak, aku kan mau dinikahin sama orang tua aku…” saya terdiam sejenak mendengar pernyataan yang terlontar dari gadis yang berusia 16 tahun itu. Cara ia menuturkan kegaluaan hatinya masih dengan gayanya yang ceria, masih sempat tersenyum simpul dan sesekali tertawa kecil. Protes sempat terlontar dari mulutnya, menyoal ia yang tidak terlalu kenal dengan calon suaminya-lah…, masih pengen pacaran, atau masih ada keinginannya yg belum tercapai. Tapi Nia tak kuasa untuk menolak ego orang tuanya.

Gadis hitam manis, berambut lurus tebal, badan yang agak berisi, dan tinggi tak lebih dari 160 cm ini mempunyai empat adik di kampungnya (haaaaaa empat!?) yep…., that’s true! Nia agaknya bekerja untuk membantu sikon keuangan keluarganya. Dan sekarang ia ‘ditarik’ kedalam tanggung jawab yang lebih serius a.k.a MENIKAH! Sungguh membuat saya berpikir, kesucian dan arti hakiki dari lembaga pernikahan sudah sedikit bergeser, dalam kasus spt Nia ini menurut saya pernikahan dijadikan jalan pembenaran untuk orang tua melepaskan tanggung jawabnya. Padahal Nia masih butuh kasih sayang, perhatian, dan bimbingan.

Kisah semacam ini bukan baru sekali saya dengar; monopoli orang tua dalam menentukan jodoh untuk anaknya. Tak terelakkan orang-orang seperti Nia tidak mempunyai daya menolak apa yang menjadi ‘pinta’ orang yang paling mereka hormati sepanjang hidupnya. Bahkan di usia yang masih belia Nia diharuskan untuk memasuki fase kehidupan yang belum dipahaminya secara menyeluruh. Terbaca jelas dari bahasa tubuhnya dan apa yang ia utarkan, ia masih pantas untuk bermain-main dengan hidupnya, mengenal lebih banyak orang, menjalankan serangkaian ritual gadis umur belasan taun pada umumnya, dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk menggapai impiannya (pasti ia punya!)

It’s not fair enough 4 u lil girl…! anyway Nia…. always smile & cheer up okay ^_^ 

Selasa, 04 Maret 2014

Balkon Bersejarah (SORE I'm in love with U!)

Ocehan gw ini dibuat saat gw berjibaku sebagai anak kuliah di UNPAD Bandung. Tepatnya ketika (lumayan) terseok-seok menamatkan S1 Jurnalistik (aaaahhh kangeenn masa-masa ituuu mas broo...). Dan di masa itu gw berjodoh dengan kost-kostan di daerah Dago Pojok dan kamar paling pojok pula (di lantai 2,5), jadiiii yaaa manteman gw punya balkon samping. Kalau sore gw demen banget nongkrong disitu dan motret suasana sore kala itu, dari situlah hati gw jatuh cinta dengan suasana sore.

Balkon Bersejarah (SORE I'm in love with U!)

November 29, 2008 at 1:31am

Suara ranting pepohonan yg saling bergesekan, wangi tanah yg mengalahkan segala jenis parfum, angin sepoi yg mulai beranjak sejuk, awan putih & biru muda yang perlahan memerah & akhirnya hrs gelap krn sang raja cahaya hrs berhenti bertugas hr itu; adalah segelintir fenomena yang mengurai kebesaran ilahi. Menegaskan bahwa diri ini harus selalu mengucap syukur kepada-Nya.


Rutinitas barusan biasa gw nikmati di balkon kamar kostn, saat suasana senja perlahan pamit, giliran malam pekat memegang peranan utama. Entah knp saat ngeliat langit menggeliat berganti warna, kontan saja gw merasa seperti di syurga (wow...!!!) what a prefect day!!! Hahahahahaha…

Bertahun-tahun hidup jauh dari keluarga menghasilkan berkah tersendiri buat gw, banyak hal yang didapat; hikmah dan pengalaman hidup satu persatu tersimpan apik dalam kotak kebijaksanaan. Proses panjang yg dijalani bermuara pada pribadi yang sangat terbiasa dengan kemandirian, merasa nyaman saat sendiri, bisa mengekspresikan apa aja yg gw mau di dalam kamar kostn yg tidak seberapa besar.

Menjelajah kemana pun gw suka, mencari dan memberi 'reward' kpd diri sendiri setelah melewati berbagai varian kegiatan yg menyita waktu & pemikiran. Mengenal pribadi-pribadi unik yg turut menorehkan kisah-kisah mengagumkan ke dalam buku harian gw. Asyik mengoleksi hal-hal sederhana yg dapat memperkaya isi bathin, menyelami makna hakiki; keberadaan insan manusia di dunia. Hingga akhirnya setiap hari gw bisa tersenyum saat terbangun di pagi hari, mensyukuri setiap inci dari nikmat yg diberikan oleh-Nya.


Sayang..., dlm hitungan beberapa bulan lg, siap tdk siap gw hrs melepas Bandung dari keseharian gw. Gak pengen !!! tp sptnya hrs…, anyway I left my heart in Bandung ;)

Hmmm…., Ada yg mau ikut gabung nongkrong di balkon ;) ?




Senin, 03 Maret 2014

NOW, or NEVER!

Heyhoooo,

I'm back! Pas iseng2 buka blog ternyata gw sudah mendaftar sejak April 2012 yang lalu...hahahahahaa. In other hand....beberapa tahun ini gw lebih sering menulis untuk kepentingan tempat di mana gw berlabuh untuk mencari segenggam berlian (aamiin ya Allah....). Sekarang gw mau mengawali "mewarnai" halaman blog gw ini dengan memposting tulisan-tulisan lama gw dulu yaaa.

Let start it......