Selasa, 11 Oktober 2016

Gw Belum Cukup Tangguh untuk Bersyukur

Me and my beloved son: Jordy
Seperti biasa, pagi gw dimulai dengan meraba sosok mungil di samping gw. Kulit halusnya dan sedikit aroma khas anak toddler ketika bangun pagi membuat gw tersadar berulang kali – gw adalah seorang ibu! Tepatnya 3 July 2014 lalu, gw melahirkan Jordy anak pertama gw – walau proses kelahiran Jordy tergolong penuh perjuangan. Itulah the truly momen, gw harus terus bersyukur diberikan kepercayaan oleh Allah SWT merawat, membesarkannya dengan kaidah agama yang gw anut dan segala normal sosial yang berlaku. Jordy...., kamu adalah nyawa kedua Bunda dan Ayah.


Setelah selesai drama pagi dengan Jordy, hahaha (eboooo-eboooo mana suaranyaaa?), gw bersiap pergi ke kantor, biasanya dibonceng motor sama Reno. Dalam perjalanan selama kurang lebih 1 jam itu, gw melihat banyak banget “pemandangan” yang menyadarkan gw, kalau gw belum cukup tangguh untuk bersyukur. Bayangin aja, pas bangun pagi, gw bisa melihat Jordy dan bangun ke arahnya tanpa susah payah aja, itu udah anugerah yang luar biasa. Coba deh, di belahan dunia lainnya, pasti ada seseorang yang badannya lemas lunglai karena suatu penyakit, atau para korban perang yang mau keluar rumah aja nggak bisa.
One fine day, saat gw sempat berkunjung ke Oman negara Middle East, matahari sore atau pagi seperti ini semacam alarm buat gw untuk selalu bersyukur.
“Pemandangan” yang tadi gw sempat bilang, di antaranya, bapak-bapak paruh baya yang masih semangat berdagang. Entah itu peralatan rumah tangga, sayur-sayuran, buah dan yang paling sukses bikin gw berkaca-kaca, bapak tua yang jualan abu gosok+bola warna warni (tau kaaan? Itu bola khas banget). Katakanlah gw mellow, katakanlah gw cengeng, katakanlah gw terlalu sensitif...tapi ini nyata, mereka yang udah paruh baya aja masih gigih, kok gw yang seperempat usia bapak penjual abu gosok tadi sering ngeluh ke suami kalau nggak bareng sama dia pulangnya “Jalanan macet banget tadi deh”. Menurut lo tha? Lo hidup di mana? Belitung? Yang 10 menit sekali baru liat kendaraan lalu lalang *nanti gw tulis dalam post yang berbeda, ya!

Itu baru dari sudut pandang ketika gw jalan ke kantor. Lain cerita dengan lingkungan dimana gw tinggal. Karena daerah rumah gw bisa dibilang adalah perkampungannya (red: di luar kompleks perumahan gituuu, guys.). Jadi kalau kalian berkunjung ke rumah gw, akan mendapati banyaaak banget rumah petakan alias kontrakan kecil. Dengan keadaan kontrakan yang seadanya, bisa ditebak bagaimana keadaan ekonomi mereka. Sebut saja Ibu Eni, waktu hamil tua anak kedua, dia datang ke tetangga gw yang juga seorang penjahit. Dia datang sambil bawa beberapa pakaian bayi yang sudah lusuh dan robek sana sini. Ibu Eni, minta tolong dijahitkan bagian yang bolong-bolong itu, supaya bisa menjelma menjadi baju layak pakai. Huufftthh, dengar ceritanya aja dari Nyokap gw menghela napas panjaaang, apalagi gw ada di situ, yaaa T_T.

Masih dengan objek cerita yang sama, suatu hari Jordy dan pengasuh gw lagi main dekat rumah Ibu Eni. Dan terjadilah percakapan ini:

Ibu Eni: Jordy udah bisa apa?

Pengasuh Jordy: Macam-macam Bu, jalan, ngomong, dan lain-lain

Suami Ibu Eni: Aaah anak saya mah boro-boro, wong makannya aja cuma sama sayur aja. Nggak mampu beli daging ayam dan daging lainnya.

Pas pengasuh Jordy cerita momen ini ke gw, honestly gw merasa seperti tertampar. Duuuh, gw kan kerja di media online parenting ya. Tapi kok  belum bisa berbuat apa-apa buat mereka yang pengetahuan tentang nutrisi itu, bukan sebatas daging-dagingan atau harus makan ikan. Tahu, tempe, oncom itu nilai proteinnya sama, lho, kayak daging sapi, Pak dan Ibu Eni. Ini jadi catatan tersendiri sih buat gw, sambil masih cari cara yang nggak terkesan menggurui buat ngobrol sama Ibu Eni, perihal asupan nutrisi buat anak ituuu nggak harus mahal. Dan gara-gara ini gw sempat terpikir bikin posyandu di rumah gw, ada yang tahu nggak caranya gimana? Maksudnya gw juga kerja sama dengan pihak terkait gitu.
Image: www.thekdpost.wordpress.com
Ibu Eni, Bapak penjual abu gosok, halusnya kulit Jordy dan nikmatnya matahari pagi, menyadarkan gw kalau hidup itu, yaaa, layak diperjuangankan. Ngeluh? Emang mau jadi pecundang? Alias kalah sebelum berjuang?